Akibat terlalu banyak menonton sinetron. Be aware, guys!
Berbicara mengenai sinetron, tentunya tidak
terlepas dari dua hal berikut: televisi dan episode. Sinetron (Sinema
Elektronik), baik di Indonesia ataupun di negara-negara lainnya, marak
diperdagangkan melalui media televisi. Meskipun saat ini dunia sinetron mulai
merambah media online (web series), sinetron lewat media
televisi tetaplah menjadi tontonan primadona bagi masyarakat golongan
atas-bawah di seluruh dunia.
Penelitian dari AC Nielsen (Lembaga
Survey Rating Televisi di AS) mengatakan, rata-rata warga Amerika menghabiskan
34 jam waktu hidupnya dalam satu minggu untuk menonton siaran program di televisi. Itu berarti, hampir tiap orang di Amerika menghidupkan mesin layar kacanya
selama 5 jam perhari untuk memenuhi kebutuhannya akan informasi dan hiburan. Hal ini membuktikan, bisnis program televisi,
khususnya sinetron, sangat menjanjikan dalam segi keuntungan/profit. Pemasukan
dari iklan dan sponsor adalah sumber utama kehidupan hampir di seluruh stasiun
televisi swasta, yang mana hal ini dapat mereka terima jika program
acara/sinetron yang mereka tayangkan di stasiun televisinya itu laku keras dan
ditonton oleh banyak orang.
Sinetron dengan episode, bagaikan
kereta dengan gerbongnya. Kereta tidak akan menjadi kereta kalau hanya terdiri
dari satu gerbong. Sinetron/Serial pun tidak akan menjadi sinetron/serial kalau
hanya terdiri dari satu episode. Rata-rata durasi per episode di setiap serial
tv/sinetron adalah 30-90 menit. Sangat jarang kita temui serial tv/sinetron yang berdurasi lebih dari jumlah tersebut.
Format serial di Amerika rata-rata
menggunakan format season/musim. Satu
season umumnya terdiri dari beberapa episode yang jumlahnya pun tidak sebanyak sinetron-sinetron
di negara kita. Cerita di dalam satu season
itu pun masih berpusat kepada satu inti cerita yang sama.
Lain di Amerika, lain pula di
Indonesia. Kita masih sulit menemukan sinetron di Indonesia yang menggunakan
sistem season/musim. Sinetron
Indonesia masih setia mengadopsi sistem Never
Ending Stories. Episode yang panjang dan tak berujung mengakibatkan jalannya
cerita pun menjadi ngalor-ngidul tak
tentu arah. Hal ini marak kita jumpai di sinetron-sinetron yang memiliki nilai
rating tinggi. Semakin tinggi rating, otomatis semakin banyak iklan/sponsor
yang masuk. Produser tentunya tidak mau mengambil resiko untuk memutus hype sinetronnya, karena khawatir
apabila menghentikan tayangan sinetron lama lalu memproduksi sinetron baru/season selanjutnya, sinetron tersebut
tidak akan laku di pasaran.
Penonton Indonesia vs Penonton Amerika
Setelah puas membandingkan format
sinetron Indonesia dengan Amerika, kini saatnya kita beralih ke masalah
kriteria penonton di masing-masing negara. Penulis pernah menghadiri sebuah
workshop tentang industri kreatif dunia pertelevisian, dengan pembicara Ratih
Kurnia, script editor salah satu
stasiun televisi swasta Indonesia. Beliau mengatakan kalau terdapat perbedaan
yang mencolok antara karakter penonton TV di Indonesia dengan penonton TV di
Amerika.
Apa perbedaannya?
Perbedaan yang paling mencolok adalah,
penonton Indonesia menonton TV dengan cara “mendengar”, sedangkan penonton
Amerika menonton TV dengan cara “melihat”.
Maksud mendengar disini adalah,
kecenderungan penonton Indonesia untuk mencerna penuturan cerita sinetron hanya
melalui audio-nya saja. Itulah sebabnya, scriptwritter
sinetron-sinetron Indonesia marak menggunakan dialog voice over demi kepentingan menyingkat durasi dan meminimalisasi biaya
produksi. Rata-rata masyarakat Indonesia pun menonton TV saat mereka sedang
menyantap makan, membersihkan isi rumah, berbincang dengan keluarga, atau
bahkan saat menyetrika pakaian, yang menyebabkan konsentrasi mereka tidak
sepenuhnya tertuju ke layar kaca.
Lain halnya dengan karakter penonton
di Amerika. Menurut beliau (Ratih Kurnia-red), masyarakat Amerika cenderung
menonton serial TV dengan cara menikmati tayangan visual-nya saja. Istilah
kasarnya, mereka masih dapat menikmati tayangan serial TV, meski dengan keadaan
TV itu sendiri di-mute. Sangat jarang
kita temui para aktor/aktris serial TV Amerika yang berdialog dengan cara bergumam
dalam hati (voice over). Semua adegan
harus diterjemahkan secara jelas menjadi sebuah tayangan visual yang sesuai
dengan ekspektasi penonton. Jadi, misalnya di dalam cerita terdapat adegan
seseorang yang sedang terjun bebas dari lantai tujuh, sutradara harus berani
menggambarkan adegan tersebut secara nyata (visual), bukan hanya melalu dialog/voice over antar pemain (audio).
Tentunya, metode pengadeganan ini membutuhkan biaya produksi yang jumlahnya pun
tidaklah sedikit. Untuk itu, dibutuhkan pembahasan yang mendalam antar pelaku
serial TV, mulai dari produser, sutradara, hingga penulis skenario, terkait
tehnik pengambilan adegan yang cukup rumit tersebut.
Dewasa ini, biaya produksi merupakan
salah satu faktor utama yang menentukan kualitas suatu sinetron/serial TV. Suatu
sinetron/serial TV dapat menjadi suatu tontonan yang menarik apabila
produsernya berani menggelontorkan dana lebih. Cerita yang baik nan mendidik, Pemain
dan sutradara berkelas, tehnik visual
effect (apabila diperlukan), gear film
yang lebih lengkap, dan promosi yang gencar, adalah rumus jitu yang dipakai
produser untuk membuat sinetron/serial TV yang baik. Sekali lagi saya tekankan,
sinetron yang BAIK. Bukan, sinetron yang LAKU. Di lain pihak, tidak sedikit pula
sinetron yang diproduksi asal-asalan dan terkesan “yang penting jadi”, malahan
laku di pasaran. Hal inilah yang menyebabkan mindset, “Ah, mending
buat tayangan murah dan standar, tapi laku, daripada mahal dan keren, tapi gak laku.” bagaikan sebuah “lingkaran
setan” di dalam industri sinetron Indonesia.
Industri sinetron kita memang belum
atau bahkan tidak akan bisa membuat sinetron/serial TV sekelas Mission
Impossible, CSI Miami, Transporter the Series, Game of Thrones, dll. Semuanya
kembali ke masalah karakter penonton kita yang memang berbeda dengan karakter
penonton Amerika, dan budget produksi sinetron Indonesia yang jauh lebih rendah
daripada budget produksi serial TV Amerika. Kita tidak bisa memaksakan kehendak
kita agar produser sinetron Indonesia mau untuk memproduksi sinetron-sinetron
yang mendidik dan berkelas. Yang kita tahu hanyalah menerima, kemudian menontonnya. Kalau pun kita tidak suka, ya sudah tinggalkan. Toh, masih ada jutaan orang Indonesia
yang masih mau menonton sinetron-sinetron mereka. Jangan malah menonton
sinetron tersebut sampai habis hanya untuk mencari bahan ejekan. Itu sama saja
dengan "melestarikan" jam tayang sinetron yang menurut hemat kita kurang
bermanfaat/mendidik.
Kualitas dan kreatifitas para penggiat
sinetron Indonesia menjadi penyeimbang atas segala kekurangan yang terdapat di
industri sinetron Indonesia dewasa ini. Dengan budget yang minim, peralatan yang seadanya, dan SDM yang terbatas,
mereka cukup berhasil untuk menghadirkan sebuah tontonan yang tidak hanya
menghibur, melainkan juga mendidik (untuk beberapa sinetron) masyarakat
Indonesia. Pada akhirnya, bagus atau tidaknya suatu sinetron/serial TV itu
tergantung dari persepsi penonton masing-masing. Yang bisa kita lakukan
hanyalah tetap menonton, atau memindahkan siaran ke channel TV yang lain. Jikalau keduanya tetap tak dapat memberikan
kita kepuasan, jalan terakhir dan satu-satunya adalah.......matikan TV-nya!
0 komentar:
Posting Komentar